Kaum Muslimin Tergantung pada Syarat-Syarat Yang Dibuat Oleh Mereka
Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny
Kaum Muslimin Tergantung pada Syarat-Syarat Yang Dibuat Oleh Mereka merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz DR. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. dalam pembahasan Kitab Qawaa’idul Fiqhiyyah (Mukadimah Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fikih Islam) karya Ustadz Ahmad Sabiq Bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Kajian ini disampaikan pada 11 Rabbi’ul Awwal 1440 H / 19 November 2018 M.
Kajian Islam Ilmiah Tentang Kaum Muslimin Tergantung pada Syarat-Syarat Yang Dibuat Oleh Mereka – Kaidah Fikih
Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam masalah muamalah, masalah yang mengatur atau berhubungan dengan kehidupan manusia antara satu dengan yang lainnya. Kaidah tersebut berbunyi:
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ
“Kaum muslimin tergantung pada syarat-syarat yang dibuat oleh mereka.”
Ketika mereka sudah sepakat dengan suatu syarat, maka mereka harus menjalankan apa yang mereka sepakati. Ini adalah kaidah yang sangat agung. Dan kaidah ini bisa menjaga hak-hak kaum Muslimin.
Kaidah ini berasal dari sebuah hadits. Hadits tersebut diriwayatkan dari Katsir bin Abdullah bin Amr bin Auf Al-Muzani bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal. Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram. (HR. Bukhari)
Zulham djais bainal Muslimin berdamai itu di boleh dibolehkan bagi kaum Muslimin berdamai itu dibolehkan bagi kaum Muslimin apabila misalnya ada cekcok atau pertengkaran di antara dua belah pihak kemudian dua belah pihak ingin berdamai dengan menuntut syarat setiap pihak memberikan syarat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan
Inilah hadits yang darinya redaksi kaidah ini diambil. Dan kaidah ini mempunyai kedudukan yang sangat tinggi didalam Syariat Islam. Karena kaidah ini menyangkut banyak permasalahan-permasalahan yang dilakukan oleh manusia. Terutama dalam masalah akad.
Dan akad ini banyak sekali jenisnya. Ada akad perdagangan atau bisnis, ada akad pernikahan, ada akad sewa-menyewa dan ada akad-akad yang lainnya. semua akad ini dicakup oleh kaidah yang kita pelajari pada hari ini. Bahwa kaum Muslimin itu tergantung syarat-syarat yang dibuat oleh mereka.
Termasuk diantara yang dicakup oleh kaidah ini adalah peristiwa atau masalah yang darinya kaidah ini datang. Apabila ada akad perdamaian di antara dua belah pihak, maka syarat-syarat yang dibuat di akad perdamaian tersebut harus dijalankan oleh kedua belah pihak.
Makna dari kaidah
Sebelum kita masuk dalam pembahasan makna global dari kaidah ini, maka kita harus tahu apa yang dimaksud dengan syarat ketika dikatakan kaum Muslimin itu tergantung kepada syaratnya.
Syarat secara bahasa berarti mengharuskan sesuatu dan jadinya sesuatu itu harus dilakukan. Ketika sesuatu menjadi harus dilakukan, inilah syarat. Syarat berbeda dengan rukun. Keduanya sama-sama diharuskan, sama-sama diwajibkan, namun syarat itu biasanya berada diluar hakikat sesuatu. Sedangkan rukun itu berada didalam hakekat sesuatu.
Kalau dimisalkan dengan ibadah shalat, maka wudhu itu syarat sedangkan takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah, ruku’, itu rukun. Semuanya harus dilakukan. Orang ketika shalat, sebelumnya dia harus berwudhu. Dia harus mensucikan dirinya.
Termasuk diantara syarat syarat adalah menjadikan pakaiannya bersih dari najis. Dia harus mencari pakaian yang bersih dari najis. Termasuk diantara syarat shalat adalah dia harus mencari tempat yang suci. Ini termasuk diantara syarat syarat shalat. Itu semuanya harus dilakukan sebelum dia melakukan ibadah shalat. Dia berada diluar hakekat shalat. Adapun rukun adalah sesuatu yang ada di dalam hakekat shalat itu.
Itulah perbedaan antara syarat dengan rukun. Maka apabila dikatakan, “Kaum Muslimin itu tergantung syarat yang dibuat oleh mereka” Maka artinya adalah bahwa seorang muslim itu wajib menjalankan syarat yang disepakati oleh mereka. Tentunya selagi syarat-syarat tersebut tidak bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti misalnya menghalalkan yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Syarat yang seperti ini, karena bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala maka harus dibatalkan dan dianggap tidak ada.
Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِل
“Barangsiapa yang membuat syarat, tapi syarat tersebut tidak ada di dalam kitabullah, maka sel tersebut batil.”
Yang dimaksud dengan syarat yang tidak ada di kitabullah adalah syarat yang bertentangan dengan syariat Islam. Ada sesuatu yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian dia katakan dengan syarat kita boleh meninggalkannya. Maka syarat yang seperti ini dianggap tidak ada, batal.
Didalam syariat hal itu diharamkan, kemudian dia mengatakan dengan syarat saya boleh melakukan itu. Maka syarat yang seperti ini adalah syarat yang batil, syarat yang tidak sah, syarat yang harus ditinggalkan, syarat yang harus dianggap tidak ada.
Termasuk diantara syarat yang bertentangan dengan kitabullah adalah syarat yang bertentangan dengan tujuan akad. Misalnya akad jual beli tujuannya adalah perpindahan kepemilikan dari yang asalnya milik penjual menjadi milik pembeli. Kemudian ada orang mengatakan, “kamu boleh membeli ini asalkan kepemilikannya tetap berada di tanganku.” Ini tidak boleh karena bertentangan dengan maksud akad tersebut dilakukan.
Contohnya lagi akad pernikahan. Didalam akad pernikahan apabila ada orang mengatakan, “saya mau kamu nikahi tapi dengan syarat kamu tidak boleh berhubungan badan denganku.” Ini tidak boleh, karena bertentangan dengan maksud utama akad tersebut dilakukan. Orang menikah adalah untuk memperbanyak keturunan diantara tujuannya. Apabila sebuah syarat justru bertentangan dengan tujuan utama dilakukannya pernikahan, maka syarat tersebut adalah syarat yang tidak sesuai dengan kitabullah, tidak sesuai dengan Al-Qur’an, tidak sesuai dengan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka harus dibatalkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, beliau mengatakan tentang syarat ini. Dia mengatakan bahwa pada asalnya syarat itu dibolehkan. Kata-kata Beliau mengatakan asal dari hukum akad dan syarat adalah boleh dan sah. Maksudnya pada asalnya akad dan syarat itu boleh dan sah. Tidak ada yang haram dan tidak ada yang batal kecuali yang diharamkan dan dibatalkan oleh syariat baik dengan nash ataupun dengan qiyas. Baik dengan lafal redaksi secara langsung disebutkan oleh syariat atau dengan qiyas (menyamakan sesuatu yang tidak disebutkan didalam nash)
Belitau juga berkata bahwa tujuan syarat adalah mewajibkan sesuatu yang pada asalnya tidak wajib dan mengharamkan sesuatu yang pada asalnya tidak tidak haram. Maksudnya melarang sesuatu yang pada dasarnya tidak dilarang. Semua syarat yang shahih pasti memberikan faidah wajibnya sesuatu yang bukan wajib.
Kalau misalnya ada orang membeli HP. Kemudian penjualnya mengatakan, “Saya mau menjual HP ini tapi dengan syarat HP ini harus diformat ulang. Saya takut ada data-data pribadi saya yang ada di HP ini tersisa.” Sebenarnya memformat HP setelah membeli tidak wajib, sesuatu yang mubah (boleh dilakukan boleh juga tidak). Tapi ketika syarat ini ada, maka dia menjadi wajib. Jadi termasuk diantara konsekuensi dari syarat adalah mewajibkan, mengharuskan sesuatu yang asalnya mubah.
Simak penjelasannya pada menit ke – 20:12
Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Kaum Muslimin Tergantung pada Syarat-Syarat Yang Dibuat Oleh Mereka – Kaidah Fikih
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/46473-kaum-muslimin-tergantung-pada-syarat-syarat-yang-dibuat-oleh-mereka/